Anak dan Penceraian

7/31/2013 9:20:24 AM

Pertanyaan

Saya mau tanya, apakah anak yang berkembang dalam keluarga broken home
akan menimbulkan dampak psikologis yang kurang baik dalam tumbuh
kembangnya? Dampak apa saja yang sering dialami si anak?

Jawaban

Pada dasarnya anak dapat tumbuh dengan optimal dalam kondisi
lingkungan keluarga yang positif, aman, nyaman, dan penuh kasih
sayang. Ketika terjadi permasalahan dalam keluarga, walaupun
permasalahan yang ringan (misalnya sering terjadi cekcok ayah dan ibu)
di depan anak, akan mengganggu keseimbangan psikologis anak. Apalagi
ketika anak tumbuh dalam situasi broken home yang tidak tertangani
dengan baik. Broken home dapat diasosiasikan dengan perceraian
orangtua, salah satu orangtua mengalami kecanduan minuman beralkohol
dan narkotika, atau terjadi kekerasan dalam rumah tangga. Kondisi
broken home tersebut pastinya akan memengaruhi kondisi perkembangan
psikologis anak yang tak dapat dihindari lagi. Dampak yang paling
besar berpengaruh pada anak adalah dampak psikologis terutama
perkembangan emosinya. Anak dapat mengalami gejala traumatis, stres,
kurang percaya diri sehingga anak yang awalnya ceria setelah
perceraian orangtuanya menjadi lebih pasif, pemalu, kurang nafsu
makan, diam, murung; kecewa, marah, benci kepada orangtuanya; merasa
bersalah dan merasa dirinya ikut bertanggungjawab atas perpisahan
orangtuanya. Di sekolah, prestasi anak pun menurun, ia menjadi
pendiam, dan kurang dapat bersosialisasi dengan teman-temannya.

Penelitian yang dilakukan oleh Alia dan Hidayah (2010), ditemukan
dampak perceraian terhadap emosi anak:

  • Ekspresi emosi yang sering tampak dalam diri anak adalah ekspresi
    sedih dan marah, anak cenderung lebih pendiam. Ungkapan kesedihannya
    dengan menangis, sedangkan ungkapan marah anak dengan bertindak kasar
    sampai menyakiti saudaranya.
  • Anak cenderung dikuasai emosi dan pasrah terhadap apa yang
    menimpanya, mereka memiliki daya kontrol emosi yang rendah. Dalam hal
    memotivasi diri, mereka seperti tidak memiliki semangat, sehingga
    prestasi di sekolahnya menurun. Dalam lingkungan sosialnya, mereka
    kurang memiliki kepekaan terhadap apa yang dirasakan orang lain,
    secara langsung membina hubungan dengan orang lainpun tidak terjalin
    dengan baik.
  • Perkembangan emosi anak terganggu, tidak memiliki rasa aman,
    merasa kehilangan perlindungan, selalu diliputi dengan kecemasan,
    merasa malu, minder, dan tertekan. Anak korban perceraian orangtua
    mengalami kondisi traumatis dan pengalaman yang tidak menyenangkan.
  • Anak tidak dapat menyesuaikan diri dalam lingkungan sosialnya atau
    sulit untuk beradaptasi. Anak minder karena berasal dari keluarga
    broken home, selain itu anak tidak memiliki keceriaan seperti
    anak-anak lain yang seusia dengannya.

Selain itu, akibat broken home terhadap anak (jika tidak terselesaikan
dengan baik) memiliki dampak jangka panjangnya, rasa marah yang tidak
mampu dikelola dengan baik oleh anak akan dibawa sampai dewasa,
sehingga anak tumbuh menjadi anak yang nakal, sulit diatur, penentang,
negativistik, bahkan terjerumus ke dalam narkoba untuk mencari rasa
aman yang tidak didapatkan dari keluarga. Dampak lainnya, anak tumbuh
menjadi orang dewasa yang takut untuk menikah sebab ia mengalami
trauma dari perceraian orangtuanya, membenci laki-laki/perempuan yang
dianggap sama dengan ayah/ibunya yang merusak keharmonisan keluarga
ideal dalam imajinasi anak, anak pun setelah beranjak dewasa meyakini
bahwa pernikahan selalu diiringi dengan sesuatu yang buruk.

Nah, sebenarnya bukan berarti anak sama sekali tidak dapat survive
dalam situasi perceraian orangtua. Pada situasi tertentu, ketika
keputusan untuk bercerai merupakan pilihan yang terbaik bagi orangtua
(walaupun bukan keputusan yang terbaik bagi anak), maka yang
diperlukan adalah pendampingan bagi anak, sehingga ia mampu menerima,
melepaskan kecemasan, dan mengatasi kecemasan serta kemarahannya
dengan cara-cara yang baik dan positif. Seringkali ketika proses
perceraian yang menjadi fokus orangtua hanyalah proses hukum tanpa
mengindahkan dampak psikologis anak. Anak membutuhkan pendampingan
dari keluarga maupun psikolog. Hindari untuk melibatkan anak dalam
proses perceraian, jangan memaksa anak untuk memilih ikut dengan
ayah/ibu, biarkan anak yang memilih sendiri atau lebih baik anak ikut
dengan keluarga yang lain yang dianggap mampu memberikan kasih sayang
dan pendampingan yang baik bagi anak. Pada saat yang riskan tersebut,
anak membutuhkan kasih sayang yang cukup untuk merasa masih dicintai
walaupun kedua orangtuanya telah berpisah. Yakinkan anak bahwa ia
tidak bertanggungjawab atas perpisahan orangtuanya. Pesan saya bagi
para orangtua, sebisa mungkin hindarilah perceraian, bangunlah
keluarga yang harmonis aman dan nyaman bagi anak-anak! Jadilah
orangtua yang matang dan dewasa sehingga anak-anak pun dapat bertumbuh
menjadi orang dewasa yang matang.